Home Feedback Contents SearchHome

WARTA
PROGRAM
AKTIVITAS
ARTIKEL
ALBUM

Aktivitas Garak 

Jose, Komunikatif Hitam Putih ___________

 

Malam pertunjukan baca puisi bersama penyair Jose Rizal Manua dan penyair lintas generasi Rusli Marzuki Saria, Sabtu (21/6), mendapat sambutan luar biasa dari penikmat sastra Kota Padang. Hampir seluruh kursi di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Sumbar terisi. 

 

Pertunjukan puisi Sabtu malam itu merupakan rangkaian kegiatan dialog budaya dan workshop seni pertunjukan yang diikuti sejumlah siswa SMU, mahasiswa dan para seniman muda Sumbar, pada Minggu pagi. 

 

Setelah Rusli Marzuki Saria, Asril Koto, Agus Hernawan, Sondri BS, Kokom, S Metron M, dan Pentas Sakral dengan satu musikalisasi puisinya, Jose naik pentas dengan busana dikotomi hitam putih, dari baju, celana hingga sepatu. Selain membawakan puisi karya penyair lain seperti Dalam Film karya Yusril, Jose Rizal membawakan karya-karyanya sendiri seperti Pantun Kakek Nenek, Pantun Swasil Gajah Moneng, Kesetiakawanan Asia Afrika, Mencakar Dada Meremas Bukit, Srengseng Tengtes Sreset Brebet, dan Tempat Berlindung di Hari Tua. 

 

"Saya senang hadir di sini (Padang-Red). Karena sempitnya waktu, sudah lama saya tidak pulang ke tanah kelahiran saya Pariaman," ujar Jose Rizal usai membacakan dua sajak yang dimusikalisasikannya dengan total. Dan malam minggu itu memang milik Jose yang tampil komunikatif. 

 

Sementara itu, Minggu pagi di Genta Budaya, terjadi dialog budaya antara 24 peserta workshop dengan Jose yang dimoderatori Agus Hernawan. Dialog yang juga dicermati seniman muda Sumbar itu menyoal tentang kondisi seni-budaya di Sumatera Barat. Di samping itu, dialog budaya juga diarahkan untuk membincangkan kemungkinan-kemungkinan membangun jaringan seni-budaya antar seniman/budayawan, baik di wilayah Sumbar maupun di luar Sumbar 

 

"Dari acara Workshop ini telah dapat dibangun jaringan komunitas-komunitas seni-budaya di Sumatera Barat, khususnya antarpeserta," ujar Koordinator Kegiatan, Agus Hernawan, kemarin. 

 

Sebelumnya, Ketua Garak Padang, Hidayat SS, menyatakan ketiga paket acara tersebut rencananya diadakan di Ladang Padi, THR Bung Hatta. Namun, karena terkendala sesuatu, kegiatan diarahkan ke Taman Budaya dan Genta Budaya Padang. 

 

Dialog Budaya

 

 

Yayasan Garak Padang menggelar malam Baca Puisi don Dialog Budaya (Sabtu, 21/07) Pukul 19.30 WIB, bertempat di Laga-laga Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat. 

 

Pembacaan puisi dan dialog budaya ini menghadirkan penyair dan teaterawan Jakarta Jose Rizal Manua serta penyair lintas generasi Rusli Marzuki Saria dan sejumlah penyair terkini dari Sumatera Barat, Yusrizal KW, Asril Koto, S Metron M, Sondri BS dan Agus Hernawan. 

 

"Dialog budaya yang dimoderatori Nasrul Azwar ini akan menyoal tentang kondisi seni-budaya di Sumatera Barat. Di samping itu, dialog budaya juga diarahkan untuk membincangkan kemungkinan-kemungkinan membangun jaringan seni-budaya antar seniman/budayawan, baik di wilayah Sumbar maupun di luar Sumbar," jelas Ketua Yayasan Garak Padang, Hidayat SS kepada Padang Ekspres, kemarin. 

 

Dari dialog budaya ini diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi upaya pengayaan seni-budaya dan pencapaian-pencapaian artistik dan kognitif di dalam wilayah kesenian dan kebudayaan di Sumbar, tambahnya. 
Acara baca puisi dan dialog Budaya ini serangkai dengan kegiatan Workshop Seni Pertunjukan yang akan digelar pada esok harinya (Minggu 22/6) di Genta Budaya Padang. 

 

 

Workshop Seni Pertunjukan diikuti sejumlah siswa SMU, mahasiswa dan para seniman muda Sumbar. "Dari acara Workshop ini diharapkan dapat membangun don menggiatkan komunitas-komunitas seni-budaya di Sumatera Barat," ujar Koordinator Kegiatan, Agus Hernawan. 

 

Sebelumnya, ujar Hidayat, ketiga paket acara tersebut rencananya diadakan di Ladang Padi, THR Bung Hatta. Namun, karena terkendala oleh rumit dan berbelitnya birokratisasi di Dinas Pariwisata selaku pengelola THR Bung Hatta, kegiatan diarahkan ke Taman Budaya dan Genta Budaya Padang. (*/hsn)
__________________________________________

Catatan Pementasan

MENUNGGU GODOT: TRAGIKOMEDI
Oleh: Sahrul N. Staf Pengaar STSI  Padangpanjang________________________________


Nyanyian (koor) terdengar yang kemudian diiringi oleh terbukanya layar pentas dan kelihatan lampu sorot menerangi sebatang pohon tak berdaun yang mirip seperti salib, menerangi gundukan tanah yang di atasnya duduk Estragon (DePra Yoza) sambil berusaha membuka sepatunya. Lampu juga menyorot sudut pentas dimana Vladimir (Edi Suisno) memandang jauh ke depan. Di depan pohon kelihatan sebuah jalan yang lurus diagonal membelah pentas. Dari pemandangan awal ini dialog absurd dimulai di antara dua tokoh yang selalu menunggu. 

 

 

Sampai kemudian datang dua tokoh lain yaitu Pozzo (Dian Ardiansyah) dan Lucky (Saaduddin) yang punya perilaku absurd dan kemudian berlalu. Lalu datang anak kecil (Giat Syailillah) menyampaikan pesan Godot dan berlalu. Babak pertama selesai dan layarpun ditutup

 

Layar kembali terbuka dan babak kedua dimulai dan hanya ada satu tokoh (Vladimir) yang bicara sendiri, kemudian datang Estragon dan pembicaraan absurdpun berlangsung. Kemudian datang lagi Pozzo dan Lucky dalam kondisi yang berbeda dan menghilang. Anak kecil kembali datang membawa pesan Godot dan berlalu. Tinggal dua tokoh sampai akhir pementasan dengan ditandai oleh tertutupnya layar yang diiringi nyanyian (koor) dan tepukan penonton.

 

Begitulah gambaran kasar dari pementasan Menunggu Godot karya Samuel Becket yang diterjemahkan oleh Farid Bambang S., Sutradara Enrico Alamo. Pementasan ini berlangsung di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam STSI Padangpanjang pada tanggal 25 Juni 2003 yang dimulai jam 20.00 WIB sampai jam 23.00 WIB.

 

Menunggu Godot yang berjudul asli En attendant Godot yang ditulis sekitar tahun 1948-1949 merupakan karya drama yang memiliki banyak penafsiran, mulai dari drama yang tidak jelas ujung pangkalnya, drama komedi, drama tragedi, sampai kepada drama yang memiliki semangat religiusitas. 

 

 

Keanekaragaman penafsiran membuat karya ini dinilai sebagai karya yang absurd. Karya ini pertama kali dipentaskan pada tahun 1953 di Theatre de Babylone, Paris dan sejak itu pula Menunggu Godot sering dipentaskan dibeberapa negara di dunia termasuk di Indonesia.

 

Secara permainan, pementasan Menunggu Godot yang disutradarai oleh Enrico Alamo cukup menarik. Kontinuitas tokoh yang luar biasa terutama Vladimir, Estragon dan Lucky membuat permainan ini seakan hidup terutama pada bagian awal. Dialog-dialog filosofis pada bagian tertentu cukup pas diucapkan oleh pemain. Akan tetapi pada bagian akhir pertunjukan (mungkin karena kelelahan karena durasi permainan 3 jam) kelihatan mulai kedodoran dan absurditas karya tak lagi terasa. Begitu juga dengan usaha untuk memberikan tafsiran lain terhadap karya betyul-betul tidak kelihatan.

 

Memang teks samping (nebentext) naskah sangat menghukum sutradara dalam mengembangkan kreativitas. Seperti yang dilakukan Vladimir terhadap topinya atau yang dilakukan Estragon terhadap sepatunya. Gerakan yang ditulis oleh pengarang memberi isyarat seperti gerakan pantomim. Hal ini sangat kelihatan terutama yang dilakukan Estragon. Apabila aktor sedikit mau melepaskan diri dari aturan naskah, mungkin gerakan-gerakan tokoh akan lebih bervariasi. Atau mungkin ini tujuannya dalam menciptakan kegamangan dalam menunggu sesuatu yang tidak akan datang dan gerakan-gerakan pantomin menjadikan karya ini terlihat lucu. Sehingga pertunjukan ini menjadi karya tragikomedi. Tragis dalam pemaknaan, akan tetapi komedi dalam permainan.

 

Yang dipentingkan dalam karya absurd adalah ketidakberdayaan manusia dalam mengarungi kehidupan. Manusia merasa tidak mampu menghadapi perang, menghadapi teknologi pembunuh massal. Manusia hanya bisa merenung dan melakukan sesuatu berulang-ulang tanpa ada makna di dalamnya. Hal ini sebenarnya telah hadir dalam The Myth of Sisyphus karya Albert Camus. Alur dalam karya absurd tidak bisa membingkai persoalan sehingga pembicaraan boleh kemana saja dan boleh untuk tujuan apa saja. 

 

 

Pengulangan-pengulangan peristiwa akan terus terjadi dan berhenti pada titik yang tidak selesai.
Memang pementasan ini kelihatan sangat monoton dan datar tanpa ada titik klimaks. Akan tetapi kemonotonan tersebut merupakan tujuan yang sebenarnya dari lakon ini. Selama tiga jam, penoton seakan dipaksa melihat sesuatu yang terus berulang dan memaksa penonton untuk ikut menunggu Godot. 

 

 

Penonton diharuskan untuk gelisah seperti halnya kegelisahan Vladimir dan Estragon. Seharusnya memang seperti itu. Akan tetapi pada bagian-bagian tertentu, penonton gelisah bukan Menunggu Godot melainkan melihat kemonotonan yang tak bermakna.

 

Memainkan naskah absurd yang multi-makna memang tidak mudah. Sutradara dituntut untuk untuk bisa menggabungkan komedi dengan tragedi. Absurd merupakan ungkapan untuk sesuatu yang tidak selaras dan tidak harmonis. Dialog antar tokoh cenderung melompat-lompat, alur yang melingkar-lingkar, dan tidak ada pemecahan masalah secara tuntas. Inti dari absurditas adalah kata-kata yang diucapkan tokoh.

 

Kelihatannya Enrico Alamo belum mau berspekulasi terhadap pemaknaan yang telah ada selama ini, seperti membentuk pohon yang menggambarkan tanda salib yang mencerminkan penantian terhadap Tuhan. Juga permainan karakter tokoh serta pakaiannya yang mirip dengan pertunjukan sebelumnya. Atau, apakah selalu harus begitu kalau mementaskan Menunggu Godot? Atau, apakah tidak boleh memberi pemaknaan lain terhadap Menunggu Godot?Copyright © 2003 YAYASAN GARAK PADANG

 

[ Home ] WARTA ] PROGRAM ] AKTIVITAS ] ARTIKEL ] ALBUM ]

_____________________________________________

Contact Information: Telephone: 08 16 325 3248 FAX: 0751-24705 Postal address:  JL. MAWAR NO 11 PLAMBOYAN PADANG SUMATRA BARAT-INDONESIA Electronic mail General Information: yayasangarak@yahoo.com Sales: Customer Support: Webmaster: nasazwar@yahoo.com Send mail to nasazwar@yahoo.com with questions or comments about this web site. Copyright © 2003 YAYASAN GARAK PADANG Last modified: July 15, 2003